Goa Pindul - Menikmati
matahari terbit dari gunung api paling aktif di negeri ini, serta
menengok langsung kawah Merapi yang selalu bergolak menjadi pengalaman
wajib seumur hidup.
Kedatangan kami di kaki Merapi bertepatan dengan usainya ritual sadranan. Selama beberapa hari diadakannya ritual tersebut base camp ditutup sehingga para pendaki tidak diperkenankan transit melainkan bisa langsung melakukan pendakian. Hal ini dikarenakan base camp Barameru yang juga merupakan kediaman Mbah Min disediakan untuk menjamu para tamu dari dusun tetangga. Tradisi sadranan memang tak bisa dilepaskan dari masyarakat lereng Merapi; ritual ini digelar setiap tahun menjelang bulan Ramadhan untuk menghormati leluhur, juga sebagai sarana mengikat persaudaraan.
Gunung Merapi yang berada dalam satu garis lurus dengan Keraton Jogja dan Samudera Hindia memegang posisi penting dalam masyarakat Jawa. Hal ini dipercaya sebagai suatu trinitas kosmologi yang mempunyai hubungan erat satu sama lain. Merapi sebagai api, Laut Selatan perlambang air, sementara Keraton adalah penyeimbangnya. Malam ini kami berangkat untuk mendaki sang unsur api, Merapi.
Kami mengambil rute pendakian jalur sisi Utara, yaitu via Dusun Plalangan, Desa Jlatah, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Plalangan adalah dusun terakhir bila kita akan melakukan pendakian melalui jalur Selo. Untuk sampai ke sini kita bisa naik angkutan umum dari arah Jogja ke Magelang; turunlah di Blabak lalu lanjutkan naik mini bus jurusan Selo. Untuk mencapai BASE CAMP BARAMERU (MBAH MIN) kita harus berjalan kaki melewati jalan aspal menanjak karena tak ada angkutan umum yang lewat kampung ini. Bila ingin lebih mudah kita bisa menyewa mobil untuk mengantar langsung hingga base camp, tarifnya sekitar Rp 800.000 untuk mengantar dan menjemput dari Jogja. Sebenarnya masih ada jalur lain seperti jalur Deles ataupun Babadan. Namun, rutenya relatif lebih sulit sehingga jalur Selo menjadi favorit para pendaki hingga kini. Sementara itu, jalur Selatan via Dusun Kaliadem sudah tidak bisa dilalui pasca erupsi besar tahun 2010 silam.
Di base camp kita bisa beristirahat dan bermalam, tak ada tarif baku, sepantasnya saja. kami dikenai tarif Rp 35.000, sudah termasuk makan 3 porsi. Pendakian kali ini kami ditemani Gimar, seorang ayah muda berusia 22 tahun yang juga merupakan anak bungsu dari Mbah Min. Sehari-harinya Gimar adalah petani dan penjaga pos pendaftaran pendakian. Bila ada pendaki yang perlu bantuannya, Gimar bisa menjadi porter ataupun guide. Jika memerlukan, sampaikan saja pada Mbah Min, maka beliau akan mencarikannya. Tarif untuk porter berkisar Rp 125.000 sementara untuk guide Rp 300.000. Siapkan air secukupnya karena kita tak akan menemui mata air selama perjalanan hingga ke puncak. Jangan lupa membawa jaket bila tak ingin membeku disergap dingin udara gunung.
Lama perjalanan normal mendaki Merapi hingga puncak sekitar 5-6 jam. Empat hingga lima jam pertama dihabiskan melewati base camp hingga pos 3 atau Pasar Bubrah, selanjutnya perjalanan selama sekitar satu jam dari Pasar Bubrah ke puncak. Namun kali ini kami berangkat lebih awal karena berencana untuk camping dan mencari spot terbaik untuk menikmati sunrise. Pukul 19.30 kami berangkat. Perjalanan dimulai dengan tanjakan aspal hingga New Selo, selanjutnya berganti dengan jalan setapak melewati ladang tembakau dan kubis milik penduduk. Setelah berjalan selama kurang lebih 1 jam, gapura selamat datang akan menyambut. Sekitar sejam perjalanan dari gapura melewati hutan pinus, kita akan sampai di Pos 1. Dari Pos 1 menuju Pos 2 memakan waktu sekitar 1,5 jam dengan medan terjal yang menguras tenaga. Rute Pos 2 ke Pos 3 atau Pasar Bubrah relatif lebih mudah meskipun tetap dipenuhi batu. Tak ada penerangan selama perjalanan, jadi pastikan headlamp dalam kondisi prima.
Dalam gelap, bukan berarti tak ada pemandangan yang tak bisa dinikmati. Suasana damai begitu terasa; sayup-sayup terdengar bunyi gamelan dari acara ketoprak yang digelar warga, mengiringi setiap langkah menapaki kerasnya batu sisa-sisa muntahan kawah. Angin pun tak mau ketinggalan dalam pertunjukan, disapanya pohon-pohon agar ikut bersuara, semakin menambah hawa magis Merapi. Saat berhenti sejenak untuk melepas lelah, terlihat di bawah awan ribuan lampu bagaikan kerajaan kunang-kunang. Cobalah menengadah ke atas, jutaan bintang memenuhi langit kelam, seperti taburan serbuk peri yang berkilauan.
Tak terasa kami hampir sampai di Pasar Bubrah, namun kami sengaja tidak segera mendatanginya. Kami putuskan untuk mendirikan tenda di balik sebuah batu besar demi berlindung dari kencangnya angin malam itu. Dari tempat menggelar tenda ini, pemandangan rupawan yang telah kami cicipi tadi bisa lebih puas dinikmati. Seolah berada di dunia lain ketika di bawah kaki terlihat ribuan lampu kota, sedangkan mendongak ke atas para penghuni galaksi Bima Sakti tampak jelas.
Saat mentari datang esok paginya, semua berubah. Gemerlap bintang digantikan cahaya keemasan muncul dari balik Gunung Lawu di sisi Timur, membuat tanah yang kami pijak bak permadani bersulam benang emas dari Persia. Gunung Merbabu dengan tenang duduk di sisi Utara, sementara tiga bersaudara Gunung Slamet, Sumbing, dan Sindoro masih sedikit tertutup kabut di sebelah Barat bagaikan komplek piramida Giza di Mesir. Menikmati suasana Merapi seperti ini seolah mempertanyakan keganasannya yang legendaris, sejenak lupa bahwa gunung ini pernah menelan ribuan nyawa, mengubur peradaban, mengusir Kerajaan Mataram Kuno hingga ke Timur Pulau Jawa.
Kini waktunya melanjutkan perjalanan ke puncak, melewati Pasar Bubrah yang 8000 tahun silam adalah kawah Merapi. Rute penuh pasir dan batu menjadi pilihan satu-satunya, tak ada jalan lain. Pasir dan kerikil tak cukup kuat menahan pijakan, menarik kaki untuk terus-terusan merosot. Magma beku dari erupsi terakhir juga masih terlalu labil hingga harus ekstra hati-hati memilih batu yang tepat, memaksa kita harus merangkak untuk bisa maju selangkah demi selangkah. Setelah sekitar 1 jam, bau belerang menghampiri hidung kami. Berdiri di bibir kawah dari gunung paling aktif di negeri ini tentu sebuah pengalaman tak terlupa, 2914 meter tingginya dari permukaan laut. Pemandangan dari sini tak kalah spektakuler, sehingga perjalanan penuh perjuangan serasa tak berbekas, hilang entah ditelan siapa. Kami sudah di puncak Merapi.
Puncak Merapi ini juga merupakan spot favorit para pendaki untuk menikmati sunrise. Hanya saja, tempat yang sempit dan curam menyulitkan para pemburu gambar untuk bisa berpindah-pindah mencari sudut terbaik, apalagi untuk meletakkan tripod. Sebelum siang datang, kami segera turun. Perjalanan pulang ke base camp memakan waktu sekitar 4 jam. Disinari cahaya matahari, terlihat lahan penduduk di lereng gunung. Kawasan ini adalah daerah subur berkat abu vulkanik yang rutin dikeluarkan kawah Merapi. Sesungguhnya Merapi tak pernah marah; dia hanya menyeimbangkan diri, membagi apa yang dimilikinya untuk alam di sekitarnya.
Kedatangan kami di kaki Merapi bertepatan dengan usainya ritual sadranan. Selama beberapa hari diadakannya ritual tersebut base camp ditutup sehingga para pendaki tidak diperkenankan transit melainkan bisa langsung melakukan pendakian. Hal ini dikarenakan base camp Barameru yang juga merupakan kediaman Mbah Min disediakan untuk menjamu para tamu dari dusun tetangga. Tradisi sadranan memang tak bisa dilepaskan dari masyarakat lereng Merapi; ritual ini digelar setiap tahun menjelang bulan Ramadhan untuk menghormati leluhur, juga sebagai sarana mengikat persaudaraan.
Gunung Merapi yang berada dalam satu garis lurus dengan Keraton Jogja dan Samudera Hindia memegang posisi penting dalam masyarakat Jawa. Hal ini dipercaya sebagai suatu trinitas kosmologi yang mempunyai hubungan erat satu sama lain. Merapi sebagai api, Laut Selatan perlambang air, sementara Keraton adalah penyeimbangnya. Malam ini kami berangkat untuk mendaki sang unsur api, Merapi.
Kami mengambil rute pendakian jalur sisi Utara, yaitu via Dusun Plalangan, Desa Jlatah, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Plalangan adalah dusun terakhir bila kita akan melakukan pendakian melalui jalur Selo. Untuk sampai ke sini kita bisa naik angkutan umum dari arah Jogja ke Magelang; turunlah di Blabak lalu lanjutkan naik mini bus jurusan Selo. Untuk mencapai BASE CAMP BARAMERU (MBAH MIN) kita harus berjalan kaki melewati jalan aspal menanjak karena tak ada angkutan umum yang lewat kampung ini. Bila ingin lebih mudah kita bisa menyewa mobil untuk mengantar langsung hingga base camp, tarifnya sekitar Rp 800.000 untuk mengantar dan menjemput dari Jogja. Sebenarnya masih ada jalur lain seperti jalur Deles ataupun Babadan. Namun, rutenya relatif lebih sulit sehingga jalur Selo menjadi favorit para pendaki hingga kini. Sementara itu, jalur Selatan via Dusun Kaliadem sudah tidak bisa dilalui pasca erupsi besar tahun 2010 silam.
Di base camp kita bisa beristirahat dan bermalam, tak ada tarif baku, sepantasnya saja. kami dikenai tarif Rp 35.000, sudah termasuk makan 3 porsi. Pendakian kali ini kami ditemani Gimar, seorang ayah muda berusia 22 tahun yang juga merupakan anak bungsu dari Mbah Min. Sehari-harinya Gimar adalah petani dan penjaga pos pendaftaran pendakian. Bila ada pendaki yang perlu bantuannya, Gimar bisa menjadi porter ataupun guide. Jika memerlukan, sampaikan saja pada Mbah Min, maka beliau akan mencarikannya. Tarif untuk porter berkisar Rp 125.000 sementara untuk guide Rp 300.000. Siapkan air secukupnya karena kita tak akan menemui mata air selama perjalanan hingga ke puncak. Jangan lupa membawa jaket bila tak ingin membeku disergap dingin udara gunung.
Lama perjalanan normal mendaki Merapi hingga puncak sekitar 5-6 jam. Empat hingga lima jam pertama dihabiskan melewati base camp hingga pos 3 atau Pasar Bubrah, selanjutnya perjalanan selama sekitar satu jam dari Pasar Bubrah ke puncak. Namun kali ini kami berangkat lebih awal karena berencana untuk camping dan mencari spot terbaik untuk menikmati sunrise. Pukul 19.30 kami berangkat. Perjalanan dimulai dengan tanjakan aspal hingga New Selo, selanjutnya berganti dengan jalan setapak melewati ladang tembakau dan kubis milik penduduk. Setelah berjalan selama kurang lebih 1 jam, gapura selamat datang akan menyambut. Sekitar sejam perjalanan dari gapura melewati hutan pinus, kita akan sampai di Pos 1. Dari Pos 1 menuju Pos 2 memakan waktu sekitar 1,5 jam dengan medan terjal yang menguras tenaga. Rute Pos 2 ke Pos 3 atau Pasar Bubrah relatif lebih mudah meskipun tetap dipenuhi batu. Tak ada penerangan selama perjalanan, jadi pastikan headlamp dalam kondisi prima.
Dalam gelap, bukan berarti tak ada pemandangan yang tak bisa dinikmati. Suasana damai begitu terasa; sayup-sayup terdengar bunyi gamelan dari acara ketoprak yang digelar warga, mengiringi setiap langkah menapaki kerasnya batu sisa-sisa muntahan kawah. Angin pun tak mau ketinggalan dalam pertunjukan, disapanya pohon-pohon agar ikut bersuara, semakin menambah hawa magis Merapi. Saat berhenti sejenak untuk melepas lelah, terlihat di bawah awan ribuan lampu bagaikan kerajaan kunang-kunang. Cobalah menengadah ke atas, jutaan bintang memenuhi langit kelam, seperti taburan serbuk peri yang berkilauan.
Tak terasa kami hampir sampai di Pasar Bubrah, namun kami sengaja tidak segera mendatanginya. Kami putuskan untuk mendirikan tenda di balik sebuah batu besar demi berlindung dari kencangnya angin malam itu. Dari tempat menggelar tenda ini, pemandangan rupawan yang telah kami cicipi tadi bisa lebih puas dinikmati. Seolah berada di dunia lain ketika di bawah kaki terlihat ribuan lampu kota, sedangkan mendongak ke atas para penghuni galaksi Bima Sakti tampak jelas.
Saat mentari datang esok paginya, semua berubah. Gemerlap bintang digantikan cahaya keemasan muncul dari balik Gunung Lawu di sisi Timur, membuat tanah yang kami pijak bak permadani bersulam benang emas dari Persia. Gunung Merbabu dengan tenang duduk di sisi Utara, sementara tiga bersaudara Gunung Slamet, Sumbing, dan Sindoro masih sedikit tertutup kabut di sebelah Barat bagaikan komplek piramida Giza di Mesir. Menikmati suasana Merapi seperti ini seolah mempertanyakan keganasannya yang legendaris, sejenak lupa bahwa gunung ini pernah menelan ribuan nyawa, mengubur peradaban, mengusir Kerajaan Mataram Kuno hingga ke Timur Pulau Jawa.
Kini waktunya melanjutkan perjalanan ke puncak, melewati Pasar Bubrah yang 8000 tahun silam adalah kawah Merapi. Rute penuh pasir dan batu menjadi pilihan satu-satunya, tak ada jalan lain. Pasir dan kerikil tak cukup kuat menahan pijakan, menarik kaki untuk terus-terusan merosot. Magma beku dari erupsi terakhir juga masih terlalu labil hingga harus ekstra hati-hati memilih batu yang tepat, memaksa kita harus merangkak untuk bisa maju selangkah demi selangkah. Setelah sekitar 1 jam, bau belerang menghampiri hidung kami. Berdiri di bibir kawah dari gunung paling aktif di negeri ini tentu sebuah pengalaman tak terlupa, 2914 meter tingginya dari permukaan laut. Pemandangan dari sini tak kalah spektakuler, sehingga perjalanan penuh perjuangan serasa tak berbekas, hilang entah ditelan siapa. Kami sudah di puncak Merapi.
Puncak Merapi ini juga merupakan spot favorit para pendaki untuk menikmati sunrise. Hanya saja, tempat yang sempit dan curam menyulitkan para pemburu gambar untuk bisa berpindah-pindah mencari sudut terbaik, apalagi untuk meletakkan tripod. Sebelum siang datang, kami segera turun. Perjalanan pulang ke base camp memakan waktu sekitar 4 jam. Disinari cahaya matahari, terlihat lahan penduduk di lereng gunung. Kawasan ini adalah daerah subur berkat abu vulkanik yang rutin dikeluarkan kawah Merapi. Sesungguhnya Merapi tak pernah marah; dia hanya menyeimbangkan diri, membagi apa yang dimilikinya untuk alam di sekitarnya.
0 komentar:
Posting Komentar