Goa Pindul - Tak hanya
ramai di siang hari saja seperti Wisata Goa Pindul, Malam di Yogyakarta
juga terasa ramai seperti di Alun Alun Kidul ini. Saat malam, Alun-alun
Kidul yang terletak di belakang Kraton Yogyakarta dipenuhi masyarakat
yang mencari hiburan murah. Kerlap-kerlip lampu dari odong-odong yang
mengelilingi alun-alun menambah kemeriahan.
Dalam tata arsitektur tradisional Jawa dikenal istilah Catur Gatra Tunggal, artinya empat elemen dalam satu kesatuan. Hal ini bisa disaksikan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tempat berdirinya keraton, masjid, alun-alun, dan pasar. Masing-masing sebagai pusat kekuasaan, ibadah, kegiatan rakyat, dan ekonomi. Yogyakarta mempunyai dua alun-alun, satu ada di depan keraton yang disebut Alun-Alun Utara (alun-alun lor), satu lagi ada di belakang yang disebut Alun-Alun Selatan (alun-alun kidul). Letak keraton Yogyakarta sendiri berada di sebuah garis imajiner yang menghubungkan antara Gunung Merapi, Keraton, dan Pantai Parangtritis.
Halaman belakang kediaman Raja Jogja ini merupakan tempat sarat cerita. Dua folklore paling akrab dengan alun-alun kidul adalah tentang keberadaannya yang dibangun agar belakang keraton nampak seperti bagian depan sehingga tidak membelakangi laut selatan yang dijaga oleh Ratu Kidul yang konon punya hubungan magis dengan Raja Mataram. Cerita kedua adalah mitos melewati ringin kembar dengan mata tertutup. Permainan ini bernama masangin, singkatan dari masuk dua beringin.
Aturan mainnya sangat sederhana, kita hanya perlu menutup mata lalu berjalan lurus sekitar 20 meter dari depan Sasono Hinggil menuju tengah-tengah ringin kurung (dua beringin di tengah alun-alun). Itu saja. Namun lihatlah, tak mudah rupanya. Banyak sekali orang yang berusaha berjalan lurus tapi malah berbelok ke berbagai arah, jauh dari tujuan. Tentu saja berjalan tanpa melihat pasti jauh lebih sulit ketimbang bila ada obyek yang terlihat. Dipercaya, hanya orang berhati bersih yang bisa tembus melewatinya. Dalam pengertian yang lebih luas, permainan ini menyampaikan pesan bahwa untuk mencapai apa yang diinginkan, maka kita harus berusaha keras dan tetap menjaga kebersihan hati.
Asal-usul masangin bermula dari ritual topo bisu mubeng beteng (mengitari benteng) di malam 1 Suro yang berakhir dengan melewati ringin kurung. Konon ada rajah di antara kedua beringin tersebut yang berfungsi untuk menolak bala yang berusaha mendatangi Keraton Jogja. Sehingga, hanya orang yang bersih hati dan tak berniat buruk yang bisa lolos. Untuk mencoba permainan ini, kita bisa menyewa penutup mata seharga Rp 5.000. Di luar mitos, permainan ini kini menjadi ikon alun-alun kidul dan mendatangkan rejeki bagi para pedagang di sekitarnya.
Di alun-alun kidul, tak hanya masangin yang bisa kita lakukan. Tempat yang dulunya dipakai untuk berlatih para prajurit kerajaan ini, sekarang telah bertransformasi menjadi ruang publik yang riuh pengunjung. Berbagai kalangan dan usia bercampur menjadi satu. Sore hari kira-kira pukul lima, anak-anak kecil dengan diantar orang tuanya datang bermain, berlarian mengejar ratusan gelembung sabun yang ditiup penjajanya, atau berteriak-teriak melambaikan tangan memanggil layang-layang aneka rupa di angkasa. Sementara di pinggir alun-alun, para pedagang tengah bersiap-siap, menggelar tikar menunggu tamu datang. Beranjak malam, suasana berubah. Anak-anak kecil telah pulang digantikan muda-mudi yang datang untuk menghabiskan malam. Semakin malam suasana semakin ramai. Sepeda tandem dan odong-odong berlampu menjadi favorit pengunjung. Kita bisa berkeliling alun-alun dengan menyewa sepeda tandem seharga Rp 15.000 dan Rp 30.000 untuk odong-odong penuh lampu yang bisa muat hingga 6 orang. Sambil berolahraga malam mengayuh pedal, menjadi sensasi tersendiri saat kita mengemudikannya menerobos kemacetan jalanan.
Lelah bermain, mari beristirahat. Duduk santai di atas gelaran tikar sambil memesan kudapan. Jagung bakar aneka rasa ditemani hangatnya jahe dari wedang ronde menjadi pilihan ciamik. Belum cukup? Tambahkan roti bakar dan wedang bajigur ke dalam daftar pesanan. Dua minuman khas Jogja ini sangat tepat dinikmati di area jantung kekuasaan Kerajaan Mataram. Alun-alun kidul memang bukan lagi tempat sepi penenang hati, tapi suasananya yang beraura riang membuat kita merasa senang. Bila kita datang di hari Sabtu pada minggu kedua setiap bulan, di Sasono Hinggil Dwi Abad digelar pertunjukan wayang kulit. Tapi sebaiknya kita mempersiapkan diri karena pertunjukan ini digelar semalam suntuk. Nah, mau coba?
Sumber : yogyes.com
Dalam tata arsitektur tradisional Jawa dikenal istilah Catur Gatra Tunggal, artinya empat elemen dalam satu kesatuan. Hal ini bisa disaksikan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tempat berdirinya keraton, masjid, alun-alun, dan pasar. Masing-masing sebagai pusat kekuasaan, ibadah, kegiatan rakyat, dan ekonomi. Yogyakarta mempunyai dua alun-alun, satu ada di depan keraton yang disebut Alun-Alun Utara (alun-alun lor), satu lagi ada di belakang yang disebut Alun-Alun Selatan (alun-alun kidul). Letak keraton Yogyakarta sendiri berada di sebuah garis imajiner yang menghubungkan antara Gunung Merapi, Keraton, dan Pantai Parangtritis.
Halaman belakang kediaman Raja Jogja ini merupakan tempat sarat cerita. Dua folklore paling akrab dengan alun-alun kidul adalah tentang keberadaannya yang dibangun agar belakang keraton nampak seperti bagian depan sehingga tidak membelakangi laut selatan yang dijaga oleh Ratu Kidul yang konon punya hubungan magis dengan Raja Mataram. Cerita kedua adalah mitos melewati ringin kembar dengan mata tertutup. Permainan ini bernama masangin, singkatan dari masuk dua beringin.
Aturan mainnya sangat sederhana, kita hanya perlu menutup mata lalu berjalan lurus sekitar 20 meter dari depan Sasono Hinggil menuju tengah-tengah ringin kurung (dua beringin di tengah alun-alun). Itu saja. Namun lihatlah, tak mudah rupanya. Banyak sekali orang yang berusaha berjalan lurus tapi malah berbelok ke berbagai arah, jauh dari tujuan. Tentu saja berjalan tanpa melihat pasti jauh lebih sulit ketimbang bila ada obyek yang terlihat. Dipercaya, hanya orang berhati bersih yang bisa tembus melewatinya. Dalam pengertian yang lebih luas, permainan ini menyampaikan pesan bahwa untuk mencapai apa yang diinginkan, maka kita harus berusaha keras dan tetap menjaga kebersihan hati.
Asal-usul masangin bermula dari ritual topo bisu mubeng beteng (mengitari benteng) di malam 1 Suro yang berakhir dengan melewati ringin kurung. Konon ada rajah di antara kedua beringin tersebut yang berfungsi untuk menolak bala yang berusaha mendatangi Keraton Jogja. Sehingga, hanya orang yang bersih hati dan tak berniat buruk yang bisa lolos. Untuk mencoba permainan ini, kita bisa menyewa penutup mata seharga Rp 5.000. Di luar mitos, permainan ini kini menjadi ikon alun-alun kidul dan mendatangkan rejeki bagi para pedagang di sekitarnya.
Di alun-alun kidul, tak hanya masangin yang bisa kita lakukan. Tempat yang dulunya dipakai untuk berlatih para prajurit kerajaan ini, sekarang telah bertransformasi menjadi ruang publik yang riuh pengunjung. Berbagai kalangan dan usia bercampur menjadi satu. Sore hari kira-kira pukul lima, anak-anak kecil dengan diantar orang tuanya datang bermain, berlarian mengejar ratusan gelembung sabun yang ditiup penjajanya, atau berteriak-teriak melambaikan tangan memanggil layang-layang aneka rupa di angkasa. Sementara di pinggir alun-alun, para pedagang tengah bersiap-siap, menggelar tikar menunggu tamu datang. Beranjak malam, suasana berubah. Anak-anak kecil telah pulang digantikan muda-mudi yang datang untuk menghabiskan malam. Semakin malam suasana semakin ramai. Sepeda tandem dan odong-odong berlampu menjadi favorit pengunjung. Kita bisa berkeliling alun-alun dengan menyewa sepeda tandem seharga Rp 15.000 dan Rp 30.000 untuk odong-odong penuh lampu yang bisa muat hingga 6 orang. Sambil berolahraga malam mengayuh pedal, menjadi sensasi tersendiri saat kita mengemudikannya menerobos kemacetan jalanan.
Lelah bermain, mari beristirahat. Duduk santai di atas gelaran tikar sambil memesan kudapan. Jagung bakar aneka rasa ditemani hangatnya jahe dari wedang ronde menjadi pilihan ciamik. Belum cukup? Tambahkan roti bakar dan wedang bajigur ke dalam daftar pesanan. Dua minuman khas Jogja ini sangat tepat dinikmati di area jantung kekuasaan Kerajaan Mataram. Alun-alun kidul memang bukan lagi tempat sepi penenang hati, tapi suasananya yang beraura riang membuat kita merasa senang. Bila kita datang di hari Sabtu pada minggu kedua setiap bulan, di Sasono Hinggil Dwi Abad digelar pertunjukan wayang kulit. Tapi sebaiknya kita mempersiapkan diri karena pertunjukan ini digelar semalam suntuk. Nah, mau coba?
0 komentar:
Posting Komentar