Goa Pindul
- Waduk sermo sebagai satu-satunya waduk yang ada di Jogja laksana oase
di tengah perbukitan karst Menoreh yang eksotis. Naik perahu
berkeliling tak kalah menyenangkan dengan menikmati senja di tepinya.
Berada di tengah-tengah perbukitan menoreh, Waduk Sermo yang tenang seolah menjadi taman tirta bagi putri khayangan yang hendak mandi, menyembunyikannya dari mata nakal yang ingin mengintip ritual membersihkan diri para putri.
Ingin menikmati suasana berbeda dari Jogja, kali ini kami mengarahkan kompas ke arah barat, menuju Kulon Progo. Berbagai suasana kami lalui, mulai hiruk pikuk kota, aspal mulus yang naik turun mengular, hingga sepi jalanan berbatu dengan rindang pohon di kiri kanan. Ladang, tanah persawahan, rumah-rumah desa, dan tebing berbatu menjadi pemandangan sepanjang perjalanan.
Setelah satu jam berkendara, sampailah kami pada sebuah telaga buatan, dialah Waduk Sermo. Lahan seluas 157 hektar yang dulunya adalah sebuah perkampungan ini kini telah disulap menjadi telaga yang tenang dan menentramkan. Ada dua cara paling menyenangkan untuk menikmati Waduk Sermo. Pertama, dengan menyewa perahu boat untuk menyusuri setiap lekukannya. Sementara yang kedua adalah dengan duduk bersantai di pinggir telaga sambil menanti senja. Sebuah cara sederhana mensyukuri pemberian Sang Pencipta.
Tak mau rugi, keduanya akan kami coba hari ini. Maka naiklah kami ke atas perahu bermesin yang membawa berkeliling. Mengamati setiap lekuk indahnya, menyentuh airnya, merasakan hembusan angin yang membelai wajah dan memainkan rambut. Ah, angin yang manja membuat kami semakin jatuh cinta. Tak perlu biaya mahal untuk bisa menikmatinya, kita hanya perlu membayar Rp 6.000 per orang atau bila menginginkan suasana lebih tenang, kita bisa menyewa perahu secara privat seharga Rp 30.000.
Saat sore mulai tiba, kami bergeser ke dekat pintu air dan duduk bersantai menghadap ke barat. Ya, inilah ritual menunggu senja. Mengantarkan sang surya pulang ke punggung bukit untuk beristirahat agar esok kembali berbagi energi dengan bumi. Dari pinggir telaga kami merasakan waktu yang berjalan seolah adalah sebuah gerakan tangan pelukis saat sedang menyapukan warna kuning keemasan, sesekali menyipratkan jingga pada langit, pada permukaan air, pada rumput dan batu yang menjadi bibirnya, pada hutan dan bukit yang menjadi pelindungnya.
Suasana berubah semakin keemasan, mengingatkan pada novel karangan Seno Gumira Ajidarma yang berjudul negeri senja. Seperti inikah negeri itu? Sebuah negeri yang tak tak pernah mengenal siang dan malam, satu-satunya yang ada hanyalah senja, satu-satunya warna adalah jingga. Ah, mendadak kami merasa menjadi musafir yang tersesat ke negeri misterius itu. Warna remang keemasannya menyihir kami untuk duduk diam seribu bahasa sambil terus memandang telaga. Sumber
Berada di tengah-tengah perbukitan menoreh, Waduk Sermo yang tenang seolah menjadi taman tirta bagi putri khayangan yang hendak mandi, menyembunyikannya dari mata nakal yang ingin mengintip ritual membersihkan diri para putri.
Ingin menikmati suasana berbeda dari Jogja, kali ini kami mengarahkan kompas ke arah barat, menuju Kulon Progo. Berbagai suasana kami lalui, mulai hiruk pikuk kota, aspal mulus yang naik turun mengular, hingga sepi jalanan berbatu dengan rindang pohon di kiri kanan. Ladang, tanah persawahan, rumah-rumah desa, dan tebing berbatu menjadi pemandangan sepanjang perjalanan.
Setelah satu jam berkendara, sampailah kami pada sebuah telaga buatan, dialah Waduk Sermo. Lahan seluas 157 hektar yang dulunya adalah sebuah perkampungan ini kini telah disulap menjadi telaga yang tenang dan menentramkan. Ada dua cara paling menyenangkan untuk menikmati Waduk Sermo. Pertama, dengan menyewa perahu boat untuk menyusuri setiap lekukannya. Sementara yang kedua adalah dengan duduk bersantai di pinggir telaga sambil menanti senja. Sebuah cara sederhana mensyukuri pemberian Sang Pencipta.
Tak mau rugi, keduanya akan kami coba hari ini. Maka naiklah kami ke atas perahu bermesin yang membawa berkeliling. Mengamati setiap lekuk indahnya, menyentuh airnya, merasakan hembusan angin yang membelai wajah dan memainkan rambut. Ah, angin yang manja membuat kami semakin jatuh cinta. Tak perlu biaya mahal untuk bisa menikmatinya, kita hanya perlu membayar Rp 6.000 per orang atau bila menginginkan suasana lebih tenang, kita bisa menyewa perahu secara privat seharga Rp 30.000.
Saat sore mulai tiba, kami bergeser ke dekat pintu air dan duduk bersantai menghadap ke barat. Ya, inilah ritual menunggu senja. Mengantarkan sang surya pulang ke punggung bukit untuk beristirahat agar esok kembali berbagi energi dengan bumi. Dari pinggir telaga kami merasakan waktu yang berjalan seolah adalah sebuah gerakan tangan pelukis saat sedang menyapukan warna kuning keemasan, sesekali menyipratkan jingga pada langit, pada permukaan air, pada rumput dan batu yang menjadi bibirnya, pada hutan dan bukit yang menjadi pelindungnya.
Suasana berubah semakin keemasan, mengingatkan pada novel karangan Seno Gumira Ajidarma yang berjudul negeri senja. Seperti inikah negeri itu? Sebuah negeri yang tak tak pernah mengenal siang dan malam, satu-satunya yang ada hanyalah senja, satu-satunya warna adalah jingga. Ah, mendadak kami merasa menjadi musafir yang tersesat ke negeri misterius itu. Warna remang keemasannya menyihir kami untuk duduk diam seribu bahasa sambil terus memandang telaga. Sumber
0 komentar:
Posting Komentar